Gayo, empat hurup yang bermakna. Khususnya di kawasan Aceh yang
disebutkan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gayo berarti
sebuah wilayah dan suku yang hidup di tengah Dataran Tinggi Aceh.
Wilayah Gayo dengan suku gayonya memang unik dan dipenuhi mistis.
Kota ini berkabut di pagi hari dengan suhu udara yang dingin. Pinggiran
Kampung dan bahkan Ibukota Kabupaten, Takengen, dipagari bukit dan
gunung yang dipenuhi kayu.
Kayu-kayu yang tumbuh umumnya ditumbuhi kayu tropis dengan kayu
terkenalnya Pongkeh dan Grupel serta pinus mercusi yang berada di
jajaran Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistim Leuser.
Di Ujung Barat Kota dingin gayo, terbentang sebuah danau yang disebut
Danau Luttawar dengan ikan endemiknya, rasbora tawarensis alias
depik. Ikan yang mahal dan pavorit sepanjang sejarah gayo. Danau ini bak
Tower air raksasa di ketinggian 1200 diatas permukaan laut (Dpl).
Disisi danau yang bergua dangkal (Rock Shelter), ditemukan kerangka
manusia prasejarah yang berumur 7525 ribu tahun silam yang secara ilmiah
diakui sebagai penghuni awal penduduk gayo dan tanah Batak di Sumatera
Utara oleh Balai Arkeologi Medan (Balar).
Bukan itu saja . Kawasan pegunungan gayo, banyak menyimpan bahan
tambang dari emas hingga bahan baku untuk senjata pemusnah massal. Gayo
juga diapit banyak gunung berapi aktip.
Gunung berapi itu seperti Burni Telong di Bener Meriah, dan sebuah
gunung api di seputaran Burni Bius. Burs susu atau juga disebut Gur
(Gunung) Salah Nama. Lengkaplah sudah.
Karena semua potensi itu, tanah –tanah (Tanoh Gayo -Red) menjadi
subur dengan suhu khatulistiwa yang ideal. Belanda yang memulai
ekspedisi pertamanya ke gayo di tahun 1904, mulai menanami gayo dengan
kopi,teh dan sayuran kentang serta mengolah getah pinus.
Sejak saat itu, tiga komoditi ini, dieksport Belanda lewat Serikat
dagangnya VOC ke Erofa. Gayo, juga dijadikan Belanda serta keluarga
mereka menjadi tempat peristirahatan petinggi Belanda dan keluarganya,
sekaligus menyimpan harta kekayaan mereka di Tanoh Gayo.
Menurut John R.Bowen, antropolog asal Amerika yang pernah melakukan
penelitian di gayo, dan menyebut pemanggilan dirinya bak orang gayo
dengan sapaan Aman Genali, menyebutkan bahwa merujuk pada literatur
peninggalan Belanda, kopi ditanam di gayo di tahun 1908, di bagian Utara
Danau.
Kopi tumbuh di gayo bak permadani hijau yang berbaris rapi dengan
naungan pohon petai yang menutup permukaan bukit dan gunung serta
dataran. Membentuk sebuah ekosistim kopi yang unik, indah dan merupakan
upaya nyata pelestarian bumi versi petani kopi gayo.
Ekosistim kopi, hutan lindung dan Ekosistim Leuser, menjadi satu
kesatuan dengan kearifan lokal gayo yang telah tumbuh menjadi sebuah
kekuatan ekonomi utama rakyat gayo.
Dan selain menjadi komunitas ekosistim lokal yang berkelanjutan
sejak Muyang Datu masyarakat gayo, semua ini menjadi lukisan alam
(lenskep) yang indah bagi kanvas foto dan kenangan manis mereka yang
pernah berkunjung ke gayo.
Perkebunan kopi yang memenuhi bukit dan gunung di gayo dengan rumah
penduduk yang selalu menyediakan kayu bakar demi membunuh dingin dikala
pagi dan malam, menjadikan daerah ini menarik dikunjungi.
Menarik karena kesegaran udara dan indahnya pemandangan. Serta
keramahan penduduk gayo yang biasanya sangat menghormati tamu yang
datang. Danau, di pagi hari tampak mengeluarkan asap yang indah dengan
nelayan yang pulang melaut dengan hasil danau, seperti ikan bawal,
mujahir serta depik.
Belum lagi setelah subuh, diantara temaram cahaya pagi, ibu-ibu istri
nelayan memungut ikan depik di sepanjang kawasan bibir danau, seperti
di Kuala Toweren. Hampir semua sudut kawasan gayo menjadi lenskep yang
berview banyak sehingga tak mampu direkam memori kamera.
Gayo juga menjadi surga para pecinta olah raga bersepeda gunung.
Ratusan pesepeda asal Aceh dan juga asing mengakui sangat menikmati
suasana dan alam gayo. Karena selain bersepeda ditengah udara segar
dengan bonus pemandangan dan keramahan lokal, para turis bisa menikmati
kopi gayo.
Kopi Arabika gayo dikenal dengan rasa dan aroma yang khas. Tumbuh di
ketingggian 1200 dpl keatas. Sementara kopi robusta tumbuh dibawah
ketinggian tersebut. Kopi arabika gayo diolah dengan cara basah dan
kering dan perlakuan diantara keduanya yang hanya ada di gayo.
Skor kopi gayo masuk kategori spesialti, diatas angka 82. Kebanyakan
dieksport ke Amerika, Erofa dan Asia. Pasar potensial terkini adalah
Korea. Hasil pertahun dari kopi rakyat gayo ini, berkisar Rp.2.2 trilyun
setiap tahunnya.
Angka ini masih akan terus naik karena hasil perhektar /tahunnya
untuk kopi beras (greenbeans) masih rendah, yakni, 700 kilogram lebih.
Pun begitu, sudah banyak petani yang menghasilkan lebih dari 1.5 ton.
Kopi gayo disukai karena diolah secara tradisional sejak tanam, tanpa
menggunakan bahan kimia. Hal ini dilakukan karena suburnya Tanoh Gayo.
Umumnya kebun kopi bertetangga dengan kawasan hutan lindung dan
ekosistim Leuser.
Tentu saja tidak bisa dipungkiri ada petani yang sudah memakai bahan
kimia dalam berkebun kopi arabika gayo. Tapi persentasenya masih sedikit
dan rendah serta dibawah ambang toleransi.
Kopi gayo hampir memiliki semua sertifikat yang dikeluarkan berbagai organinisasi sertifikasi dunia. Umpamanya, Organik, Fair Trade, dan lain-lain. Setiap tahun belasan milyar fee sertifikasi ini dibagikan kepada petani yang umumnya tergabung dalam berbagai koperasi.
Kopi gayo hampir memiliki semua sertifikat yang dikeluarkan berbagai organinisasi sertifikasi dunia. Umpamanya, Organik, Fair Trade, dan lain-lain. Setiap tahun belasan milyar fee sertifikasi ini dibagikan kepada petani yang umumnya tergabung dalam berbagai koperasi.
Puas menikmati pemandangan dan kuliner gayo dengan pelengkap kopi
arabika gayo, wisatawan bisa menikmati pemandian air panas di beberapa
tempat di gayo. Bahkan ada turis asing yang merekomendasikan tempat di
gayo untuk dimasukkan di buku petunjuk wisata dunia, Lonely Planet.
Kini, gayo mulai dikembangkan agro wisata kopi. Dimana, para
wisatawan lokal dan mancanegara meminta tinggal di rumah-rumah petani
kopi atau nelayan. Hal ini dilakukan oleh warga secara perorangan yang
selama ini banyak bersinggungan dengan wisatawan.
Banyak warga gayo asli yang kini bisa membaca pasar dan peluang
bisnis. Pengusaha lokal gayo mulai memasuki usaha kafe dengan sajian
utama kopi arabika gayo. Bahkan mereka juga sudah membangun industri
rumah tangga untuk kopi olahan.
Selama ini, kopi arabika dijual dalam bentuk bahan mentah atau green
bean. Amerikalah yang paling banyak membeli kopi gayo. Kemudian
memasaknya (Roasting) untuk dijual ke antero dunia dalam bentuk olahan.
Roasted bean atau ground.
Nilai kopi gayo setiap tahunnya yang mencapai Rp.2.2 trilyun,
keuntungan terbesar dari kopi ini diambil oleh pihak asing atau
eksportir yang pandai mengolah bahan mentah kopi menjadi bahan jadi.
Pemerintah daerah gayo, meliputi Aceh Tengah dan Bener Meriah serta
Gayo Lues masih gagap melihat peluang ini sehingga dimanfaatkan
pengusaha besar dan asing. Idealnya, Pemda membantu pengusaha kopi gayo
pada pembelian alat gongseng kopi yang harganya sangat mahal karena
buatan luar negeri.
Dengan cara ini , pemerintah tidak harus memberikan bantuan mesin
roast, tapi memberi pinjaman kredit lunak. Sehingga para pengusaha kopi
olahan yang kebanyakan adalah generasi muda gayo, berkembang sedikit
lebih cepat.
Sayangnya, setelah seratusan tahun lebih kopi gayo tumbuh di Dataran
Tinggi ditengah Aceh ini paska Belanda, hal itu belum dilakukan Pemda.
Pemda tampak tidak punya visi dan dan misi yang jelas soal kopi gayo.
Kecuali Retribusi kopi.
Setali tiga uang, DPRK setempat sama saja. 30 orang anggota DPRK
setempat yang kini menjelang habis masa jabatannya, lebih menyukai
menggunakan dana aspirasinya untuk membuka jalan ke Bukit dan gunung
yang kemudian tidak dipakai karena terlalu terjal.
DPRK diduga mengambil fee dari proyek bukaan jalan ini karena
untungnya banyak. Akhirnya, petani dan pengusaha berkembang secara alami
tanpa sentuhan dan bantuan pemerintah. Aneh memang, tapi fakta ini
terus terjadi. Mungkin sampai besok.
Padahal, dua periode masa kepemimpinan bupati terpilih sekarang, berlatar pendidikan sarjana pertanian. Namun sektor pertanian kopi, justru paling terlantar dibandingkan alokasi dana untuk dinas PU, Pendidikan dan yang lainnya. Apa boleh buat.
Padahal, dua periode masa kepemimpinan bupati terpilih sekarang, berlatar pendidikan sarjana pertanian. Namun sektor pertanian kopi, justru paling terlantar dibandingkan alokasi dana untuk dinas PU, Pendidikan dan yang lainnya. Apa boleh buat.
Belanda, soal kopi dan hortikultura, jauh lebih baik dan maju di
masa penjajahan dahulu. Di gayo, para pemimpinnya masih belajar
berpolitik dan lalai dengan euphoria politik praktis dibanding
menguatkan sektor perkebunan dan horti yang telah secara nyata dan
signifikan memberi pemasukan paling besar. Bagi rakyat dan PAD. Bahkan
kini, politik kerabat dan famili serta unsur KKN lainnya, sedang
berkembang. Berbeda dengan Banten yang , dimana politik dinasti telah
runtuh.
Kopi yang nikmat dengan bonus pemandangan serta prasejarah yang
terungkap , berkembang di gayo secara alami pula. Itulah sebabnya,
setiap wisatawan dan pecandu kopi beranjak pergi, mereka selalu
meninggalkan kesan mendalam dalam bentuk tulisan. Semuanya serba alami.
Akibat serba alami ini, banyak pihak yang justru memanfaatkan
rendahnya proteksi pemerintah pada banyak hal. Umpamanya, kopi gayo
sempat didaftarkan pengusaha Belanda di perdagangan Erofa.
Akibatnya, kopi gayo yang dipegang mereknya oleh Holland Coffee itu
tidak bisa masuk pasar Erofa kecuali lewat si pengusaha tadi. Syukurlah,
kemudian pemerintah memberi perlindungan hukum lewat Indikasi
Geografis, khusus Kopi Gayo.
Keterkenalan kopi gayo setelah Blue Mountain Coffee dari Afrika,
kerap dimanfaatkan pengusaha di Sumatera Utara, atau bahkan pengusaha
gayo sendiri melakukan pencampuran kopi gayo dengan kopi lain demi
memenuhi kontrak penjualan.
Kopi gayo yang sedikit lebih mahal karena jaminan sertifikasi tadi,
diblending dengan kopi murah. Hal ini telah berakibat negatif pada kesan
kopi gayo untuk beberapa buyer di luar negeri.
Dampaknya, para buyer kini lebih suka datang langsung ke Tanoh Gayo
membeli kopi, daripada menunggu di Sumatera Utara karena lebih beresiko
pada kualitas kopi. Sejak dua tahun terakhir, kopi gayo berada pada
level harga terendah selama beberapa tahun terakhir.
Selain faktor harga yang turun hampir dua tahun belakangan, kuantitas
kopi gayo juga mengalami penurunan drastis. Salah satu dugaan
penyebabnya adalah perubahan iklim, rendahnya tingkat pengetahun petani
dalam budidaya dan penanganan paska panen. Hingga sektor hilir kopi
arabika gayo dikuasai pedagang besar atau asing.
Hampir semua sektor di gayo merasakan langsung akibat rendahnya harga
kopi dan rendahnya produksi. Daya beli menjadi rendah serta banyak anak
– anak petani di gayo yang tidak melanjutkan pendidikan.
Indikasinya , tahun ini Universitas Gajah Putih di Takengon
menyatakan bahwa jumlah mahasiswa mereka durun drastis dibandingkan
tahun sebelumnya. Jumlah penurunan tersebut hampir 50 persen.
Artinya, banyak anak petani kopi gayo yang tidak melanjutkan
pendidikan mereka ke Perguruan Tinggi lokal akibat tidak ada biaya.
Parahnya lagi, Pemda setempat tidak berbuat banyak dan menyatakan bahwa
harga kopi gayo ditentukan pasar dunia.
Pemda seolah pasrah dan melepas tanggungjawabnya dengan demikian
mudah tanpa beban sedikitpun, apalagi empaty. Bukan berarti Pemda harus
membeli kopi rakyat gayo yang nilainya mencapai angka trilyunan.
Menghadapi situasi ini, Pemda tentu saja harus bijak dan arif.
Penguatan sektor hilir kopi gayo adalah satu solusinya. Artinya, Pemda
mulai serius sedikit saja mulai mengolah kopi.
Tidak lagi menjual kopi mentah. Minimal setengah jadi (Roasted Bean)
atau malah kopi bubuk. Pemda harus merubah pola. Mulai menjadikan kopi
sebagai industri. Tidak puas dengan menjual kopimentah.
Bila perlu, Pemda dengan dengan puluhan pegawainya yang bergelar
sarjana strata dua , mulai berpikir atau bahkan berevolusi menjadikan
kopi sebagai target utama industri dengan sokongan dana APBK, APBA atau
bahkan APBN. Maksudnya, mentalitas petani dirubah menjadi pedagang.
Kopi dengan berbagai variannya diolah di Tanoh Gayo. Misalnya,
lipstick kopi, bedak atau lulur kopi gayo,shampo kopi, pasta gigi kopi,
hingga mandi sauna kopi, aroma therapy dan sejumlah produk turunan
lainnya dari kopi.
Masalahnya adalah, maukah pemda dan DPRK setempat berevolusi kopi?.
Melihat kondisi sekarang, kayaknya masih mimpi sehingga hal ini akan
diambil alih pihak lain.
Solusi lainnya adalah, Pemda mulai turun kebawah mensosialisasikan
kepada petani bahwa ketergantungan pada sektor kopi sebagai penyangga
utama ekonomi rakyat gayo, telah membuat petani terpuruk.
Kedepan, petani gayo tidak boleh lagi mono kultur. Tapi harus menanam
banyak jenis tanaman selain kopi dalam luas lahan yang sama sebagai
penyangga. Umpamanya tanaman Alpukat Gayo yang juga sudah dilepas
menteri pertanian sebagai buah unggul nasional. Keprok gayo yang juga
sudah jadi buah unggul nasional serta komoditi lainnya.
Menanam sayuran, bunga dan buah-buahan. Pemda harus mulai membangun
banyak BUMD yang menangani berbagai tanaman unggul ini. Pemda harus
mulai berdagang melalui badan resmi seperti BUMD tadi.
Misalnya BUMD Kopi, BUMD Alpukat, BUMD kentang, BUMD teh dan
lain-lain. Gayo sangat kaya SDA. Tinggal mengolah SDM. Ide yang visioner
kedepan lainnya adalah mendorong dan meyakinkan pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam untuk mempercepat atau mulai melirik dibukanya
pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pelabuhan eksport.
Ide pembukaan pelabuhan Krueng Geukueh ini sebenarnya sudah dimulai
di era gubernur Aceh sebelumnya, Irwandi Yusuf. Sayang gubernur Irwandi
tidak mampu menyelesaikan ide cemerlang ini.
Sementara di pemerintahan Aceh saat ini, Gubernur terpilih sekarang
sudah juga menggulirkan ide tersebut. Namun realisasinya belum teruji.
Jika pelabuhan Krueng Geukueh terwujud lebih cepat, Aceh akan
mendapatkan PAD luar biasa dari sektor pertanian dan perkebunan.
Bukan itu saja, Aceh akan mengulang era keemasannya seperti di
Kejayaan Sultan Iskandar Muda tempoe doeloe. Alasannya, rentang kendali
eksport kopi gayo ke pasar Amerika dan Erofa serta Asia akan dilakukan
di Aceh.
Selama ini, berapa ratus milyar atau trilyun Sumatera Utara
menghasilkan uang dari Aceh dengan menjadi arus lalu lintas barang Aceh.
Semua uang Aceh dari sektor ini mengalir deras ke Medan. Medan bagi
Aceh bak Singapore yang jadi daerah transit menjual jasa.
Dengan terbukanya pelabuhan Krueng Geukueh atau bisa jadi Ulhee Lheu ,
Krueng Raya, serta berbagai pelabuhan laut lainnya yang potensial
seperti di Aceh Timur yang selama konplik diduga menjadi pelabuhan gelap
senjata, berubah menjadi pelabuhan ekonomi Aceh.
Di Dataran Tinggi Gayo dengan tiga kabupaten potensialnya ditambah
Aceh Tenggara, bisa dibuat Pelabuhan Kering (Dry Port), seperti di Gede
Bage Bandung. Semua administrasi serta paking berbagai produksi
perkebunan dan hortikultura, termasuk terpentin dari getah pinus
mercusi, dilakukan di gayo.
Kemudian dibawa ke Lhokseumawe, selanjutnya dieksport. Eksportir
mancanegara dan bahkan regional Sumatera akan membuka gudang dan
kantornya di Aceh. Jadi, jika semua ini terwujud, Aceh umumnya serta
Lhokseumawe khususnya yang sudah kehabisan minyak dan gas , akan kembali
ramai.
Petro Dolar Lhokseumawe tak akan redup lagi digantikan komoditi
perkebunan Aceh yang kaya, ditambah sayuran, bunga , teh dan kopi serta
buah-buahan dari gayo yang memenuhi pasar Asia Tenggara dan dunia.
Sering terbaca di media dan televisi bagaimana Aceh harus
mengembalikan uang ke Jakarta karena tidak mampu menggunakan uang dari
pembagian minyak dan gas akibat tak mampu diserap APBA. Dan nilainya
mencapai trilyunan.
Pemerintah Aceh saat ini, harus melihat gayo dengan sektor
perkebunannya terutama kopi arabika gayo sebagai komoditi unggulan.
Karena komoditi kopi ini bukan saja unggul secara nasional, tapi juga
dunia. Bisa dibayangkan, kopi adalah komoditas nomor dua
yangdiperdagangkan setelah minyak. Apakah data ini belum cukup seksi?.
Gayo adalah pusat produksi kopi terluas diAsia. Perlu diketahui,
kawasan penanaman kopi di dunia sangat terbatas sementara tren minum
kopi semakin meningkat mengikuti gaya hidup modern.
Konon lagi, kopi arabika ditanam dan diolah secara organik. Berbeda
dengan negara kopi di dunia yang mengelola kopi mereka menjadi industri
dengan menggunakan kimia dan dipanen dengan mesin. Sehingga di dunia,
mungkin gayo adalah pusat kopi organik dan spesialty terbesar yang lebih
disukai konsumen dunia karena berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Tapi sayang, data ilmiah ini belum bisa dijadikan pemangku
kepentingan, kabupaten ini sebagai sebuah kekuatan ekonomi maha dahsyat.
Karena masih bergelut pada euphoria politik praktis dan usaha-usaha
mensejahterakan kroni dan keluarga serta para konco yang terlibat dalam
pemenangan untuk disejahterakan melalui proyek dari kue kekuasaan lewat
apbk.
Pemerintahan Aceh kedepan juga harus mulai menurunkan dana APBA
membantu para pengusaha kopi gayo olahan yang selama bekerja dengan
kemampuan sendiri tanpa bantuan pemda.
Dengan cara ini, kopi gayo tidak lagi dijual mentah atau green
beans. Tapi sudah dalam bentuk olahan sehingga nilai uang dari kopi yang
tinggal di Aceh akan sangat besar karena selama ini margin harga
tersebut diambil asing.
Gayo dengan SDA ibarat menu . Menunya sudah oke, tinggal kokinya.
Para koki diharapkan tidak sibuk mengekploitasi SDA ,tapi mengekplore
SDM . Semoga tidak terlalu lama berpihak pada kelompok , seperti selama
ini terjadi. Tapi lebih berpihak rakyat yang selama ini sudah jadi
bulan-bulanan politik berdarah di Aceh .
Bahkan untuk cita-cita mensejahterakan rakyat Aceh oleh politikus
Aceh pernah dilakukan dengan usaha –usaha memerdekakan diri meski gagal.
Setelah para mantan kombatan ini memegang puncak pimpinan menjadi
“presiden” di Provinsi paling bergolak di Ujung Sumatera, tapi
kesejahteraan rakyat Aceh masik di tingkat propaganda dan orasi.
Inilah saatnya kembali memerdekan rakyat Aceh dari kemiskinan, dengan
segala daya upaya, bila perlu berkeringat darah seperti keinginan
memerdekan Aceh dahulu. Atau kita semua sama saja setelah mendapat kursi
, kemudian terkooptasi dalam sebuah sistim seperti para pemimpin
wilayah lainnya di Indonesia.
Sehingga Aceh menjadi tidak lagi istimewa karena pemimpinnya sama
saja dengan pemimpin kabupaten atau provinsi lain . Padahal Aceh sudah
diberi otonomi khusus . Ada yang salah dari cara kita berpikir dan
bertindak selama ini. Harus revolusi ekonomi, jika ingin lebih cepat
sejahtera.
Revolusi berpikir dan bertindak. ( AmanShafa)
Revolusi berpikir dan bertindak. ( AmanShafa)